Jumat, 02 November 2012

Film G30S/PKI: Fakta atau Asumsi Hanya Tuhan yang Tahu

KETIKA sebuah peristiwa menjadi sejarah penguasa, cara pandang berbeda adalah kemampuan siasat atas tafsir. Arifin C. Noer dengan biaya pemerintah Orde Baru membuat film mengenai peristiwa Gerakan 30 September 1965. Film dengan judul Pengkhianatan G 30 S/PKI bercerita dalam cara pandang ‘pemenang’ tentang peristiwa terbunuhnya enam jenderal Angkatan Darat dan keterlibatan Partai Komunis Indonesia (PKI) di dalamnya. Penuh dengan berbagai sisipan yang berisi cuplikan dan kutipan dari dokumen resmi ‘negara’ atas terjadinya peristiwa tersebut, akan sangat sulit untuk membedakan apakah itu film atau kenyataan yang pernah berlangsung.
Menautkaitkan Fakta dan Asumsi
Film ini diawali dengan gambar-gambar replika yang ada di dinding monumen peringatan peristiwa G 30 S di Lobang Buaya. Mengandalkan pada kemampuan narasi dan dukungan dokumen yang menjadi bagian penting dari visual yang disajikan, penonton diajak untuk membaca sejarah sebuah peristiwa dari cara pandang penguasa. Penekanan-penekanan pada berbagai dokumen negara ini tentu harus dipahami sebagai sebuah pesanan pendana film yaitu pemerintah Orde Baru.
 
Dipenuhi dengan pengambilan gambar dengan ekstrim close up tidak saja memberi tekanan pada penonton tetapi juga seringkali membuat penonton bertanya ulang. Inilah yang kemudian sebenarnya diinginkan oleh sutradara, bahwa rasa tanya dalam diri penonton adalah sebuah kebutuhan penting untuk terus membawa penonton menyelesaikan menonton film dan tetap misterius. Seperti gambar-gambar tangan Soekarno mengambil gelas berisi air putih, kamera kemudian tidak bergerak beralih mengambil aktivitas Soekarno melakukan apa dengan gelas tersebut. Pandangan kamera yang juga sekaligus pandangan penonton hanya terpaku pada meja dan asbak. Gambar ini berlangsung cukup lama. Tentu saja dengan cara begini penonton akan bertanya, apa yang dilakukan oleh Soekarno dengan segelas air putih tersebut. Memang kemudian ada visual dimana gelas kembali ditaruh di atas meja dan air dalam gelas berkurang. Secara pasti fakta yang berlangsung adalah bahwa segelas air putih yang diambil oleh tangan Soekarno dan setelah beberapa saat kemudian air dalam gelas berkurang. Dalam kondisi demikian penonton akan diajak berasosiasi bahwa segelas air putih tersebut berkurang karena diminum. Cara berpikir seperti inilah yang menjadi kata kunci dalam film ini.
Hal yang sama juga dilakukan ketika film harus menanamkan nalar pada penonton bahwa Presiden Soekarno mempunyai kedekatan dengan PKI. Selain dengan narasi yang dibangun di depan dan kliping-kliping koran ditampilkan di layar. Film ini melakukan cara yang berbeda untuk meyakinkan penonton dan menggiringnya pada wilayah kepastian dan tafsir. Kedekatan Soekarno dengan PKI divisualkan dengan adegan Soekarno berada di kamar kepresidenannya dan kemudian kamera bergerak datar ke kanan dan kiri untuk mengambil buku-buku yang tersusun di rak buku kamar Soekarno. Visual buku yang dipilih misalnya buku karya Mao Tze Tung, Lenin dan sebagainya. Lantas sebuah close up atas sebuah buku berjudul Politics Has No Moral menjadi bagian penting dalam mengasosiasikan siapa dan bagaimana Soekarno.
Serupa adalah pada bagian setelah peristiwa G 30 S terjadi. Untuk membangun pengetahuan penonton akan keterlibatan Angkatan Udara dalam peristiwa tersebut. Selain dengan dialog yang dijelaskan oleh Jenderal Soeharto juga berbagai pengambilan gambar yang berkait-menaut Angkatan Udara, seperti pengambilan gambar di peta lapangan udara Halim Perdanakusuma dan kemudian kamera bergerak pada Lobang Buaya. Hal ini dilakukan beberapa kali. Dengan cara-cara serupa usaha untuk membangun pengetahuan tentang peristiwa-peristiwa yang berada di antara fakta dan asumsi dilakukan dengan visual yang menggiring ke arah tafsir, sebuah wilayah abu-abu.
Asosiasi demikian inilah yang secara terus-menerus hendak dibangun oleh sutradara. Di ruang inilah sebenarnya sutradara yang membuat film dengan ‘tekanan’ tetap membuka ruang-ruang yang bisa dilihat sebagai bagian ‘hal yang belum pasti’. Dengan kata lain sutradara film ini hendak berkata bahwa adegan dan gambar dalam film diramu dengan ‘fakta dan asumsi’. Pesan sutradara dapat juga ditangkap mata dengan beberapa kali diambilnya kalender, bahkan dalam beberapa adegan kalender diambil panning ke kanan lalu kiri, memberi tekanan pada mata untuk melihat kalender tersebut. Visual kalender tersebut adalah pesan kepada penonton bahwa peristiwa terjadi bukan pada 30 September 1965 tetapi 1 Oktober 1965. Perlakuan ini ditegaskan oleh gambar-gambar jam dinding yang berada pada jarum peralihan menuju hari yang baru, seperti ketika jarum jam memberi tahu waktu sedang ada pada pukul 01.00 atau 03.00 dini hari. Hal-hal seperti ini, tentu saja tidak mungkin dilakukan secara terang-terangan. Ini pula yang kemudian menjelaskan kenapa dalam film ini cahaya begitu minim, bahkan dalam banyak gambar warna dominan adalah abu-abu.
Hanya Tuhan Yang Tahu
Kemampuan film ini untuk membuat detail-detail memang sangat luar biasa. Detail-detail inilah yang kemudian bergerak secara aktif dengan intensi yang diulang-ulang memberi tekanan pada penonton pada perasaan mencekam dan misterius. Kemampuan membangun sejarah takut inilah yang kemudian secara khusus menjadi bagian yang secara terstruktur menjadi sebuah perasaan akan adanya ancaman. Ancaman inilah yang dirasakan oleh pemerintah Orde Baru. Penuangan perasaan khawatir akan adanya ancaman inilah yang kemudian diinginkan juga dirasakan oleh penonton (baca: masyarakat). Sehingga kemunculan-kemunculan gambar ekstrim close up bibir D.N. Aidit Ketua CC PKI, atau bibir dan gigi tokoh-tokoh PKI lainnya yang sedang merokok atau menghirup kopi menimbulkan kesan ancaman yang menakutkan dan memuakkan.
Cara pandang penguasa inilah yang terus menerus dipakai pembuat film. Bahasa pandang penguasa ini diterjemahkan dengan pengambilan gambar dari atas dan secara ekstrim secara vertikal ke bawah. Adegan seperti ini ada lebih dari lima kali diambil oleh sutradara. Misalnya pada Sidang Pleno CC PKI 28 Agustus 1965 yang membahas tentang Dewan Jenderal. Sidang pleno ini dapat diketahui dari teks yang tertulis pada layar, tetapi sebagai rapat internal dari sebuah organisasi yang konon sangat tertutup bukankah seharusnya materi rapat tidak diketahui oleh siapapun selain mereka yang ikut di dalam rapat. Pengambilan sudut gambar yang sama juga dilakukan dalam adegan rapat pelaksanaan penculikan di markas PKI. Beberapa rapat diambil dengan cara yang sama, tentu saja ini hanya berlaku bagi rapat yang dilakukan oleh PKI. Karena walaupun rapat Jendral Soeharto dengan Brigjen Sabirin Muchtar dan Letkol Ali Moertopo di Markas Kostrad pada 1 Oktober 1965 diambil dengan sudut pandang yang tinggi juga, tetapi tidak seesktrim pengambilan rapat-rapat PKI dimana kamera secara vertikal mengambil gambar di bawahnya. Dengan visual yang demikian, film ini hendak bicara bahwa memang ada fakta tentang sidang dan rapat yang dilangsungkan oleh PKI tetapi persoalan apa isi dan bagaimana rapat itu berlangsung selain tafsir penguasa mungkin hanya Tuhan yang tahu.
Rapat-rapat selain diambil dengan sudut pandang yang tinggi juga diambil secara tersamar dari balik kaca jendela atau pintu. Beberapa bahkan hanya siluet saja. Dengan bahasa gambar yang berbeda pembuat film tampaknya selain hendak memberi batas dan jarak dengan adegan yang tengah berlangsung juga hendak mengatakan bahwa peristiwa tersebut merupakan hal yang samar-samar dan belum jelas. Sekali lagi kemampuan pembuat film untuk membuka ruang bagi tafsir lain atas ‘fakta’ yang disodorkan oleh penguasa sebagai bahan pembuatan film menjadi sangat kaya akan berbagai cara melihat sebuah peristiwa.
Demikian pula ketika pembuat film diam-diam menelikung, dengan secara tersamar mampu menyodorkan adegan yang sebenarnya dilakukannya untuk membuat penonton bertanya. Seperti ketika pengambilan gambar ransel dan bekal tentara RPKAD yang dimobilisasi untuk menghadapi pemberontakan yang tengah berlangsung. Gambar diambil oleh sutradara dari balik kaki-kaki kursi dengan ransel dan bekal yang sudah siap tertata rapi. Melihat ini pertanyaan juga akan tertata rapi di benak penonton, dengan waktu yang sangat singkat dan mendesak ternyata RPKAD bisa dengan segera dan rapi untuk dimobilisasi bahkan ransel dan bekalnya pun sudah siap. Atau dari sudut yang lain jangan-jangan semua sudah dipersiapkan sebelumnya. Tafsir yang lain juga dapat dilihat tentang keterlibatan Angkatan Udara. Ketika Letkol Sarwo Edhi Wibowo dan beberapa perwira Angkatan Darat hendak berangkat ke Istana Bogor dengan menggunakan helikopter, visual kemudian mengambil helikopter bertuliskan AURI. Kamera kemudian cukup lama hanya mengambil tulisan AURI di ekor helikopter saja. Jika benar Angkatan Udara terlibat tentu akan sangat sulit bagi perwira Angkatan Darat untuk menggunakan fasilitas Angkatan Udara bukan?
Penciptaan Ancaman dan Ketakutan

Selain visual-visual yang digunakan untuk menciptakan efek misterius, tekanan-tekanan juga menghasilkan ketakutan yang seolah selalu mengancam secara terus-menerus. Pengkondisian atas hal ini dilakukan dengan sempurna oleh visual yang bisa saja dengan tiba-tiba mengambil gambar close up atas benda-benda atau properti yang memberi kesan ancaman dan ketakutan, seperti silet, arit, luka menganga dan sebagainya. Kesan ancaman ini pula yang diusahakan dibangun sejak awal dan memberi ikatan emosional yang sangat pribadi dengan penonton. Seperti penyajian kehidupan keseharian tokoh-tokoh baik di dalam maupun di luar peristiwa seolah hendak melibatkan penonton secara emosional pada peristiwa yang sama.
Salah satu adegan tersebut adalah adegan Ade Irma Suryani, anak perempuan Jenderal A.H. Nasution ketika sedang menyanyi di Taman Kanak-Kanak atau ketika dia mematut diri dengan seragam tentara yang mirip kepunyaan ayahnya. Pun adegan kedekatan anak-anak Jenderal A.H. Nasution dengan Kapten Piere Tendean merupakan usaha sistematis membangun ikatan emosional penonton dengan film ini. Sajian yang indah, harmonis dan bahagia tersebut kemudian harus direnggut dengan kekejaman penculikan yang dilakukan oleh PKI. Emosi penonton semakin lebih teraduk lagi dengan usaha-usaha secara ekstrim memperlihatkan proses pembunuhan para Jenderal.
Semua visual tersebut mendapatkan ruhnya dengan skoring yang dibuat sedemikian mencekam oleh Embi C. Noer. Suara ritmis menegang diputar berulang-ulang sebagai latar suara setiap visual yang ada. Skoring mencekam ini muncul ketika tokoh-tokoh PKI atau peristiwa-peristiwa yang terkait dengan adegan PKI disajikan dalam layar. Termasuk di dalamnya adegan penculikan para Jenderal yang didukung dengan gerak perlahan adegannya. Kombinasi inilah yang kemudian membuat penonton tidak hanya ditawan secara mata tetapi juga disandera secara telinga. Ketegangan menjadi benar-benar berada tepat dalam atmosfir penonton. Seolah-oleh semua berada di sekitar penonton: ancaman dan ketakutan tersebut.
Film ini, selain sebagai film propaganda, dalam banyak hal dapat dikatakan sudah mampu mencapai tujuannya yaitu melibatkan penonton (sekali lagi baca: masyarakat) dalam peristiwa G 30 September 1965. Lebih lanjut keterlibatan penonton ini juga mengambil tempat dalam cara berpikir bahwa yang menjadi aktor dalam peristiwa tersebut adalah PKI, sehingga tepat pada titik yang diinginkan adalah ketakutan penonton akan ancaman PKI. Dengan melihat tujuan film ini, maka dapat dikatakan film ini hampir sempurna. Sayangnya ada beberapa hal yang mengganggu ketika menikmati film dengan durasi 220 menit ini. Pertama, teks putih untuk menjelaskan setiap adegan yang seringkali ditumpuk di atas bagian putih sehingga kesulitan untuk mendapatkan kejelasan atas teks tersebut. Kedua, pemotongan gambar yang kadang tidak disertai dengan transisi, sehingga perpindahan setiap adegan tidak halus tetapi sangat tiba-tiba. Seperti pada perpindahan dari adegan tentara yang melakukan operasi pembersihan di wilayah Halim Perdanakusuma lalu tiba-tiba beralih ke gambar Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat. Yang kedua ini tentu harus dipahami bahwa editing tidak hanya berdasarkan aspek film saja tetapi juga terkait dengan sensor negara.
Diakui atau tidak film ini telah menciptakan bangunan ketakutan ancaman akan PKI di hampir seluruh masyarakat Indonesia. Sehingga sebagai proyek ingatan film ini sukses besar, apalagi didukung dengan diputarnya film ini setiap tahun selama masa Orde Baru. Sekalipun demikian sutradara film ini tampaknya tetap memberi ruang atas tafsir pada film Pengkhianatan G 30 S/PKI ini. Tafsir inilah yang divisualkan dengan sangat hati-hati oleh sutradara. Ruang yang disediakan ini pula yang mengajak penonton untuk secara diam-diam melawan konstruksi ingatan yang dipasokkan. Disinilah asosiasi, sudut pandang, cara melihat dan mengungkap teks dalam visual yang kabur dan abu-abu harus dilihat dengan kecermatan dan ketelitian yang lebih dibanding melihat visual nyata dengan cahaya maksimal dan terang. Karena di wilayah itulah sejarah peristiwa 30 September 1965 sebagai sebuah peristiwa yang masih belum tuntas dapat dilihat dengan cermat dan hati-hati.

Kamis, 01 November 2012

G30S/PKI, Soekarno Tak Sadar "Disetir" Soeharto 

 foto

TEMPO.CO, Jakarta - Ketika Jakarta bergejolak akan Gerakan 30 September 1965, Presiden Soekarno dilarikan ke Halim Perdanakusuma. Ia dijauhkan dari Istana Negara yang kala itu sudah dikepung tentara. (Baca: Saat G30S, Soekarno Diadang Kepungan Tentara). Tapi keberadaan Bung Karno di landasan udara militer itu tidak lama. Tak lebih dari 12 jam.

Pada 1 Oktober 1965 malam, Soekarno didesak meninggalkan Halim. Si pendesak adalah ajudannya, Bambang Wijanarko. Tapi tuntutan itu sendiri bukan inisiatif Bambang. Melainkan bisikan dari Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat Mayor Jenderal Soeharto.

Melalui Dr Johannes Leimena, Bambang menyatakan Bung Karno harus segera pergi dari Halim. Alasan Bambang, malam itu atau esok pagi, Halim pasti diserbu. (Baca: Tiga Pesan Soeharto Kala G30S/PKI).

“Saya perintahkan kendaraan disiapkan. Sekitar pukul 23.00, saya, pengawal pribadi Bung Karno, Pak Leimena, dan Presiden Soekarno naik ke mobil,” kata Bambang dalam artikel majalah Tempo edisi 6 Oktober 1984, berjudul "Kisah-kisah Oktober 1965".

Waktu itu, ada juga Kepala Staf TNI Angkatan Udara Omar Dhani. Tapi dia tidak tahu rencana Bambang. Omar mengira Soekarno bakal menuju landasan terbang. Karena mobil Bung Karno penuh, Omar pun menumpang kendaraan lain.

Tapi, sesampai di simpang tiga, Bambang menyuruh sopir agar tetap lurus. Padahal lapangan terbang ada di kanan jalan. “Waktu Bapak (Bung Karno) bertanya, ‘Mbang, kita mau ke mana?’, saya diam saja. Dia tanya sampai tiga kali,” ujar Bambang.

Ajudan Bung Karno itu baru menjawab pertanyaan Presiden kala Leimena menepuk pundaknya dari belakang. Akhirnya, Bambang jelaskan bahwa mereka menuju Istana Bogor. Mendapat jawaban itu, Bung Karno kembali bertanya. Apa alasannya? Dan Bambang memberikan tiga sebab: menurut perhitungan taktis, Halim tak lama lagi pasti akan diserang; tidak meninggalkan Halim menggunakan pesawat terbang sebab si pilot bisa menyasarkan tujuan; dan lokasi tujuan jangan terlalu jauh dari Jakarta agar masih bisa memantau Ibu Kota.

“Saya tidak katakan bahwa Pak Harto yang memerintahkan saya untuk segera mengusahakan Bung Karno pergi dari Halim,” ujar Bambang.

Pukul 24.00 lewat sedikit, kendaraan Bung Karno memasuki gerbang utara Istana Bogor. Kata Bambang, semua mulai bisa bernapas lega. Ketika Bung Karno telah duduk di dalam Istana, Bambang berkata bahwa tugas dia mengamankan Presiden sudah usai. Langkah selanjutnya, terserah Bung Karno.

Lalu Bambang pergi ke kantornya di sebelah Istana Bogor. Ia langsung menelepon Soeharto, "Pak, mission is accomplished. Bapak sudah meninggalkan Halim dan sekarang ada di Istana Bogor,” ujar Bambang.

Kekuatan Film Pengkhianatan G30S/PKI Luar Biasa

TEMPO.CO, Jakarta - Film Pengkhianatan G30S/PKI adalah salah satu film yang berhasil menyedot penonton terbanyak. Data Peredaran Film Nasional menyatakan karya berdana Rp 800 juta itu menjadi film terlaris pertama di Jakarta pada 1984, dengan jumlah penonton 699.282 orang.

Secara sinematografi, banyak yang mengakui karya seni arahan Arifin C. Noer ini. “Kekuatan film luar biasa, banyak orang menerima film Pengkhianatan G30S/PKI sebagai representasi kenyataan,” ujar sejarahwan Hilman Farid dalam surat elektronik yang diterima Tempo, Kamis, 27 September 2012.

Menurut Hilmar, film tersebut telah berhasil membuat generasi muda mengira apa yang terjadi di masa lalu seperti yang ada di film. “Jangankan film sejarah, kadang sinetron yang ditonton itu dipercaya benar adanya,” ujar peneliti dari Indonesia Institute of Social History ini. Buktinya adalah banyak pemain sinetron yang acap dimarahi di pasar karena mereka membawakan peran antagonis. Kemarahan penikmat sinetron, ia melanjutkan, memang sungguhan karena mengira yang ditonton itu nyata.

Pada kasus film Pengkhianatan G30S/PKI, ia menguraikan, ada campur tangan kepentingan politik. Intervensi itu mengeksploitasi ketidaktahuan atau kesalahpahaman untuk mendapatkan apa yang diinginkan. “Film menjadi sarana yang efektif untuk kepentingan semacam itu,” ujar Hilmar.

Pendapat Hilmar serupa dengan pemeran Soeharto dalam film tentang pembunuhan para jenderal itu, Amoroso Katamsi. “Memang tayangan audio visual itu lebih mudah untuk memasukkan gagasan, idea, atau ideologi,” ujar dokter kesehatan jiwa ini. Maka, tak ayal, dulu pemerintah Indonesia di era Orde Lama sempat melarang masuknya sejumlah film barat.

Ia mencontohkan, pengaruh film terhadap kehidupan salah satunya adalah jin, celana berbahan denim. Waktu itu, jin belum masuk ke Indonesia. Tapi, ketika film-film Amerika membanjiri Indonesia dengan membawa gaya berpakaian bahan jin, mulailah produk itu ikut mejeng di toko-toko pakaian. “Banyak hal yang bisa mempengaruhi penonton. Apalagi, kalau terus menerus dijejalkan,” ujar Amoroso.

Melalui film, dia melanjutkan, menjadi cara yang ampuh untuk menyebarluaskan dan memasukkan ide, gagasan, dan ideologi. Sebab, pemerintah merasakan bagaimana sulitnya menumpas gerakan komunis ketika terjadi pemberontakan pertama pada 1948 di Madiun. “PKI (Partai Komunis Indonesia) pernah berkhianat, “ ujar dokter yang juga tentara ini. Maka, menurutnya, wajar pemerintahan Orde Baru berusaha menumpas paham komunisme dengan segala cara dan biaya yang besar, termasuk lewat film berdana Rp 800 juta ini.
TEMPO.CO, Jakarta - Film Pengkhianatan G30S/PKI adalah salah satu film yang berhasil menyedot penonton terbanyak. Data Peredaran Film Nasional menyatakan karya berdana Rp 800 juta itu menjadi film terlaris pertama di Jakarta pada 1984, dengan jumlah penonton 699.282 orang.

Secara sinematografi, banyak yang mengakui karya seni arahan Arifin C. Noer ini. “Kekuatan film luar biasa, banyak orang menerima film Pengkhianatan G30S/PKI sebagai representasi kenyataan,” ujar sejarahwan Hilman Farid dalam surat elektronik yang diterima Tempo, Kamis, 27 September 2012.

Menurut Hilmar, film tersebut telah berhasil membuat generasi muda mengira apa yang terjadi di masa lalu seperti yang ada di film. “Jangankan film sejarah, kadang sinetron yang ditonton itu dipercaya benar adanya,” ujar peneliti dari Indonesia Institute of Social History ini. Buktinya adalah banyak pemain sinetron yang acap dimarahi di pasar karena mereka membawakan peran antagonis. Kemarahan penikmat sinetron, ia melanjutkan, memang sungguhan karena mengira yang ditonton itu nyata.

Pada kasus film Pengkhianatan G30S/PKI, ia menguraikan, ada campur tangan kepentingan politik. Intervensi itu mengeksploitasi ketidaktahuan atau kesalahpahaman untuk mendapatkan apa yang diinginkan. “Film menjadi sarana yang efektif untuk kepentingan semacam itu,” ujar Hilmar.

Pendapat Hilmar serupa dengan pemeran Soeharto dalam film tentang pembunuhan para jenderal itu, Amoroso Katamsi. “Memang tayangan audio visual itu lebih mudah untuk memasukkan gagasan, idea, atau ideologi,” ujar dokter kesehatan jiwa ini. Maka, tak ayal, dulu pemerintah Indonesia di era Orde Lama sempat melarang masuknya sejumlah film barat.

Ia mencontohkan, pengaruh film terhadap kehidupan salah satunya adalah jin, celana berbahan denim. Waktu itu, jin belum masuk ke Indonesia. Tapi, ketika film-film Amerika membanjiri Indonesia dengan membawa gaya berpakaian bahan jin, mulailah produk itu ikut mejeng di toko-toko pakaian. “Banyak hal yang bisa mempengaruhi penonton. Apalagi, kalau terus menerus dijejalkan,” ujar Amoroso.

Melalui film, dia melanjutkan, menjadi cara yang ampuh untuk menyebarluaskan dan memasukkan ide, gagasan, dan ideologi. Sebab, pemerintah merasakan bagaimana sulitnya menumpas gerakan komunis ketika terjadi pemberontakan pertama pada 1948 di Madiun. “PKI (Partai Komunis Indonesia) pernah berkhianat, “ ujar dokter yang juga tentara ini. Maka, menurutnya, wajar pemerintahan Orde Baru berusaha menumpas paham komunisme dengan segala cara dan biaya yang besar, termasuk lewat film berdana Rp 800 juta ini.

Pengalaman Menyakitkan Akibat Peristiwa G-30-S PKI 1965


1348966562582873949

Monumen Pancasila Sakti-Kompas Com
Hari ini 30 September adalah “Hari Ulang Tahun” melestusnya pemberontakan Gerakan 30 September PKI yang ke 47. Pada era Pemerintahan Soeharta yang berkuasa lebih dari 32 tahun (1966-1998), tanggal 30 September ini dirayakan dan diperingati secara besar-besaran sebagai acara Kenegaraan yang dipusatkan di Istana Negara, tepatnya tanggal 1 Oktober, sebagai “Hari Kesaktian Pancasila”, antara lain dengan memutar dan menonton film “Pemberontakan G-30-S PKI”, yang tentu saja menempatkan Soeharto sebagai “pahlawan” yang menumpas Partai Komunis Indonesia (PKI).
Tapi saat ini di zaman Reformasi, suasana seperti itu tidak ada lagi, bahkan mungkin tidak pernah diketahui oleh generasi muda yang lahir setelah tahun 1965. Apalagi bagi para pelajar yang senang dan sering melakukan kekurusuhan dan tawuran. Bagi mereka peristiwa sejarah yang merenggut nyawa ribuan rakyat Indonesia yang sebagian besar tidak bersalah itu tidak penting sama sekali. Yang paling penting adalah muncul di layar TV dengan tawuran.
Sebuah stasiun TV Nasional tanggal 29 September kemarin menyiarkan sebuah program dengan judul “Peristiwa G-30-S-PKI, Apakah Suatu Coup (Merebut Keuasaan Secara Paksa) Atau Rekayasa?”. Sampai saat ini kita tidak tahu persis apa yang sesungguhnya terjadi. Namun yang jelas dan faktanya adalah, bila banyak Jenderal yang terbunuh, tapi Soeharto selamat, bahkan dapat “merebut” kekuasaan dari Presiden Soekarno melauli “Surat Sakti”, yang dia sebut “Surat Perintah Sebelas Maret-SUPERSEMAR”, yang anehnya sampai sekarang tidak dapat ditunjukkan bukti otentik (yang asli) nya.
Tapi artikel ini bukan untuk membahas masalah itu, tetapi pengalaman pribadi yang menyakitkan yang dialami penulis saat masih duduk di kelas satu SMA pada tahun 1965 itu. Saya yakin sebagin besar Kompasiner belum lahir saat G-30-S PKI itu terjadi. Maka baca dong kisah menyakitkan tapi ada berkahnya ini. Beginilah ceritanya:
Tahun 1965, Masuk SMAN Baturaja

Tahun 1965 saya masuk SMA Negeri Baturaja. Di awal tahun ajaran, proses pendidikan berjalan normal-normal saja. Saat itu hampir tidak ada sepeda motor seperti saat ini. Karena jarak dari rumah ke sekolah dan tidak ada angkutan umum, saya naik sepeda (butut) untuk pergi dan pulang sekolah. Saya sering berboncengan dengan salah seorang teman yang satu arah dengan rumah orang tua saya. Lumayam tidak perlu mengayuh sepeda.
Menjadi Anggota Drum Band Marhaen

Sebagai seorang remaja, saya mengikuti kegiatan ekstra kurikuler yang lagi trend saat itu, yaitu bermain Drum Band. Waktu itu main Drum Band merupakan suatu kegiatan yang sangat populer karena sering diperlombakan antar sekolah. Saya masuk Drum Band GSNI (Gerakan Siswa Nasional Indonesia), sebuah organisasi di bawah naungan Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan oleh mantan Presiden RI Pertama, Soekarno, yang merupakan cikal bakal PDI Perjuangan sekarang, yang dibawah pimpinan Megawati Soekarnoputri itu.
Untuk memperlancar main Drum Band, saya sering berlatih di rumah dengan menggunakan stick di atas meja, bukan drum. Suatu saat saya latihan di ruang depan rumah memukul stick di meja, sambil memanggang ikan di dapur. Gak taunya api sudah menjilat atap dapur. Untunglah api dapat dipadamkan, kalau tidak, rumah kami yang sebagian besar terbuat dari kayu itu, pasti sudah ludes dimakan api.

Tidak Naik Kelas Karena Korban Politik-G-30-S PKI
Pada saat terjadinya pemberontakan G30S/PKI, ternyata PNI dituduh ikut terlibat khususnya PNI ASU. Ternyata Drum Band GSNI tempat kami bergabung dituduh sebagai PNI ASU. Akibatnya semua siswa yang aktif dalam Drum Band GSNI tersebut dinyatakan tidak naik kelas, kecuali anak-anak pejabat, mungkin gurunya takut kepada orang-tua mereka. Saya tidak naik kelas karena ada tiga pelajaran yang diberi nilai 3 (tiga), yaitu Bahasa Indonesia, Civic (sekarang Pancasila) dan Agama.
Saya dan teman-teman tidak naik kelas bukan karena bodoh atau malas belajar, tetapi karena korban politik. Padahal kami yang masih remaja dan polos itu tdak tahu apa-apa soal politik. Yang ada hanya enjoy saja, karena Drum Band GSNI selalu jadi juara hampir di setiap perlombaan. Pokoknya, wow keren, kata anak sekarang.
Singkat cerita, para orang-tua murid yang anaknya tidak naik kelas melakukan protes ke sekolah. Terjadi keributan. Akhirnya diputuskan, bagi yang tidak naik kelas karena korban politik itu, bisa naik kelas asalkan pindah sekolah ke kota lain, nilai rapotnya dirubah dan rapor-nya diganti dengan yang baru. Nilai ke-tiga mata pelajaranku yang semula 3 itu diubah menjadi 5, sehingga bisa naik kelas. Saya naik ke kelas dua Pasti Alam (PASPAL).

Pasca kejadian

Pemakaman para pahlawan revolusi. Tampak Mayjen Soeharto di sebelah kanan
Pasca pembunuhan beberapa perwira TNI AD, PKI mampu menguasai dua sarana komunikasi vital, yaitu studio RRI di Jalan Merdeka Barat dan Kantor Telekomunikasi yang terletak di Jalan Merdeka Selatan. Melalui RRI, PKI menyiarkan pengumuman tentang Gerakan 30 September yang ditujukan kepada para perwira tinggi anggota “Dewan Jenderal” yang akan mengadakan kudeta terhadap pemerintah. Diumumkan pula terbentuknya “Dewan Revolusi” yang diketuai oleh Letkol Untung Sutopo.
Di Jawa Tengah dan DI. Yogyakarta, PKI melakukan pembunuhan terhadap Kolonel Katamso (Komandan Korem 072/Yogyakarta) dan Letnan Kolonel Sugiyono (Kepala Staf Korem 072/Yogyakarta). Mereka diculik PKI pada sore hari 1 Oktober 1965. Kedua perwira ini dibunuh karena secara tegas menolak berhubungan dengan Dewan Revolusi. Pada tanggal 1 Oktober 1965 Sukarno dan sekretaris jendral PKI Aidit menanggapi pembentukan Dewan Revolusioner oleh para "pemberontak" dengan berpindah ke Pangkalan Angkatan Udara Halim di Jakarta untuk mencari perlindungan.
Pada tanggal 6 Oktober Sukarno mengimbau rakyat untuk menciptakan "persatuan nasional", yaitu persatuan antara angkatan bersenjata dan para korbannya, dan penghentian kekerasan. Biro Politik dari Komite Sentral PKI segera menganjurkan semua anggota dan organisasi-organisasi massa untuk mendukung "pemimpin revolusi Indonesia" dan tidak melawan angkatan bersenjata. Pernyataan ini dicetak ulang di koran CPA bernama "Tribune".
Pada tanggal 12 Oktober 1965, pemimpin-pemimpin Uni-Soviet Brezhnev, Mikoyan dan Kosygin mengirim pesan khusus untuk Sukarno: "Kita dan rekan-rekan kita bergembira untuk mendengar bahwa kesehatan anda telah membaik...Kita mendengar dengan penuh minat tentang pidato anda di radio kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tetap tenang dan menghindari kekacauan...Imbauan ini akan dimengerti secara mendalam."
Pada tanggal 16 Oktober 1965, Sukarno melantik Mayjen Suharto menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat di Istana Negara. Berikut kutipan amanat presiden Sukarno kepada Suharto pada saat Suharto disumpah[5]:
Saya perintahkan kepada Jenderal Mayor Soeharto, sekarang Angkatan Darat pimpinannya saya berikan kepadamu, buatlah Angkatan Darat ini satu Angkatan dari pada Republik Indonesia, Angkatan Bersenjata daripada Republik Indonesia yang sama sekali menjalankan Panca Azimat Revolusi, yang sama sekali berdiri di atas Trisakti, yang sama sekali berdiri di atas Nasakom, yang sama sekali berdiri di atas prinsip Berdikari, yang sama sekali berdiri atas prinsip Manipol-USDEK. Manipol-USDEK telah ditentukan oleh lembaga kita yang tertinggi sebagai haluan negara Republik Indonesia. Dan oleh karena Manipol-USDEK ini adalah haluan daripada negara Republik Indonesia, maka dia harus dijunjung tinggi, dijalankan, dipupuk oleh semua kita. Oleh Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, Angkatan Kepolisian Negara. Hanya jikalau kita berdiri benar-benar di atas Panca Azimat ini, kita semuanya, maka barulah revousi kita bisa jaya.
Soeharto, sebagai panglima Angkatan Darat, dan sebagai Menteri dalam kabinetku, saya perintahkan engkau, kerjakan apa yang kuperintahkan kepadamu dengan sebaik-baiknya. Saya doakan Tuhan selalu beserta kita dan beserta engkau!
Dalam sebuah Konferensi Tiga Benua di Havana di bulan Februari 1966, perwakilan Uni-Sovyet berusaha dengan segala kemampuan mereka untuk menghindari pengutukan atas penangkapan dan pembunuhan orang-orang yang dituduh sebagai PKI, yang sedang terjadi terhadap rakyat Indonesia. Pendirian mereka mendapatkan pujian dari rejim Suharto. Parlemen Indonesia mengesahkan resolusi pada tanggal 11 Februari, menyatakan "penghargaan penuh" atas usaha-usaha perwakilan-perwakilan dari Nepal, Mongolia, Uni-Sovyet dan negara-negara lain di Konperensi Solidaritas Negara-Negara Afrika, Asia dan Amerika Latin, yang berhasil menetralisir usaha-usaha para kontra-revolusioner apa yang dinamakan pergerakan 30 September, dan para pemimpin dan pelindung mereka, untuk bercampur-tangan di dalam urusan dalam negeri Indonesia."

Penangkapan dan pembantaian

Penangkapan Simpatisan PKI
Dalam bulan-bulan setelah peristiwa ini, semua anggota dan pendukung PKI, atau mereka yang dianggap sebagai anggota dan simpatisan PKI, semua partai kelas buruh yang diketahui dan ratusan ribu pekerja dan petani Indonesia yang lain dibunuh atau dimasukkan ke kamp-kamp tahanan untuk disiksa dan diinterogasi. Pembunuhan-pembunuhan ini terjadi di Jawa Tengah (bulan Oktober), Jawa Timur (bulan November) dan Bali (bulan Desember). Berapa jumlah orang yang dibantai tidak diketahui dengan persis - perkiraan yang konservatif menyebutkan 500.000 orang, sementara perkiraan lain menyebut dua sampai tiga juta orang. Namun diduga setidak-tidaknya satu juta orang menjadi korban dalam bencana enam bulan yang mengikuti kudeta itu.
Dihasut dan dibantu oleh tentara, kelompok-kelompok pemuda dari organisasi-organisasi muslim sayap-kanan seperti barisan Ansor NU dan Tameng Marhaenis PNI melakukan pembunuhan-pembunuhan massal, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ada laporan-laporan bahwa Sungai Brantas di dekat Surabaya menjadi penuh mayat-mayat sampai di tempat-tempat tertentu sungai itu "terbendung mayat".
Pada akhir 1965, antara 500.000 dan satu juta anggota-anggota dan pendukung-pendukung PKI telah menjadi korban pembunuhan dan ratusan ribu lainnya dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi, tanpa adanya perlawanan sama sekali. Sewaktu regu-regu militer yang didukung dana CIA [1] menangkapi semua anggota dan pendukung PKI yang terketahui dan melakukan pembantaian keji terhadap mereka, majalah "Time" memberitakan:
"Pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan dalam skala yang sedemikian sehingga pembuangan mayat menyebabkan persoalan sanitasi yang serius di Sumatera Utara, di mana udara yang lembap membawa bau mayat membusuk. Orang-orang dari daerah-daerah ini bercerita kepada kita tentang sungai-sungai kecil yang benar-benar terbendung oleh mayat-mayat. Transportasi sungai menjadi terhambat secara serius."
Di pulau Bali, yang sebelum itu dianggap sebagai kubu PKI, paling sedikit 35.000 orang menjadi korban di permulaan 1966. Di sana para Tamin, pasukan komando elite Partai Nasional Indonesia, adalah pelaku pembunuhan-pembunuhan ini. Koresponden khusus dari Frankfurter Allgemeine Zeitung bercerita tentang mayat-mayat di pinggir jalan atau dibuang ke dalam galian-galian dan tentang desa-desa yang separuh dibakar di mana para petani tidak berani meninggalkan kerangka-kerangka rumah mereka yang sudah hangus.
Di daerah-daerah lain, para terdakwa dipaksa untuk membunuh teman-teman mereka untuk membuktikan kesetiaan mereka. Di kota-kota besar pemburuan-pemburuan rasialis "anti-Tionghoa" terjadi. Pekerja-pekerja dan pegawai-pegawai pemerintah yang mengadakan aksi mogok sebagai protes atas kejadian-kejadian kontra-revolusioner ini dipecat.
Paling sedikit 250,000 orang pekerja dan petani dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi. Diperkirakan sekitar 110,000 orang masih dipenjarakan sebagai tahanan politik pada akhir 1969. Eksekusi-eksekusi masih dilakukan sampai sekarang, termasuk belasan orang sejak tahun 1980-an. Empat tapol, Johannes Surono Hadiwiyino, Safar Suryanto, Simon Petrus Sulaeman dan Nobertus Rohayan, dihukum mati hampir 25 tahun sejak kudeta itu.

Supersemar

Lima bulan setelah itu, pada tanggal 11 Maret 1966, Sukarno memberi Suharto kekuasaan tak terbatas melalui Surat Perintah Sebelas Maret. Ia memerintah Suharto untuk mengambil "langkah-langkah yang sesuai" untuk mengembalikan ketenangan dan untuk melindungi keamanan pribadi dan wibawanya. Kekuatan tak terbatas ini pertama kali digunakan oleh Suharto untuk melarang PKI. Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, Sukarno dipertahankan sebagai presiden tituler diktatur militer itu sampai Maret 1967.
Kepemimpinan PKI terus mengimbau massa agar menuruti kewenangan rejim Sukarno-Suharto. Aidit, yang telah melarikan diri, ditangkap dan dibunuh oleh TNI pada tanggal 24 November, tetapi pekerjaannya diteruskan oleh Sekretaris Kedua PKI Nyoto.

Pertemuan Jenewa, Swiss

Menyusul peralihan tampuk kekuasaan ke tangan Suharto, diselenggarakan pertemuan antara para ekonom orde baru dengan para CEO korporasi multinasional di Swiss, pada bulan Nopember 1967. Korporasi multinasional diantaranya diwakili perusahaan-perusahaan minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel, ICI, Leman Brothers, Asian Development Bank, dan Chase Manhattan. Tim Ekonomi Indonesia menawarkan: tenaga buruh yang banyak dan murah, cadangan dan sumber daya alam yang melimpah, dan pasar yang besar.
Hal ini didokumentasikan oleh Jhon Pilger dalam film The New Rulers of World (tersedia di situs video google) yang menggambarkan bagaimana kekayaan alam Indonesia dibagi-bagi bagaikan rampasan perang oleh perusahaan asing pasca jatuhnya Soekarno. Freeport mendapat emas di Papua Barat, Caltex mendapatkan ladang minyak di Riau, Mobil Oil mendapatkan ladang gas di Natuna, perusahaan lain mendapat hutan tropis. Kebijakan ekonomi pro liberal sejak saat itu diterapkan.

Gerakan 30 September atau yang sering disingkat G 30 S PKI, G-30S/PKI, Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh), Gestok (Gerakan Satu Oktober) adalah sebuah peristiwa yang terjadi selewat malam tanggal 30 September sampai di awal 1 Oktober 1965 di mana enam perwira tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya dibunuh dalam suatu usaha percobaan kudeta yang kemudian dituduhkan kepada anggota Partai Komunis Indonesia.




Latar belakang

PKI merupakan partai komunis yang terbesar di seluruh dunia, di luar Tiongkok dan Uni Soviet. Anggotanya berjumlah sekitar 3,5 juta, ditambah 3 juta dari pergerakan pemudanya. PKI juga mengontrol pergerakan serikat buruh yang mempunyai 3,5 juta anggota dan pergerakan petani Barisan Tani Indonesia yang mempunyai 9 juta anggota. Termasuk pergerakan wanita (Gerwani), organisasi penulis dan artis dan pergerakan sarjananya, PKI mempunyai lebih dari 20 juta anggota dan pendukung.
Pada bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Sukarno menetapkan konstitusi di bawah dekrit presiden - sekali lagi dengan dukungan penuh dari PKI. Ia memperkuat tangan angkatan bersenjata dengan mengangkat para jendral militer ke posisi-posisi yang penting. Sukarno menjalankan sistem "Demokrasi Terpimpin". PKI menyambut "Demokrasi Terpimpin" Sukarno dengan hangat dan anggapan bahwa dia mempunyai mandat untuk persekutuan Konsepsi yaitu antara Nasionalis, Agama dan Komunis yang dinamakan NASAKOM.
Pada era "Demokrasi Terpimpin", kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum burjuis nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani, gagal memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor menurun, foreign reserves menurun, inflasi terus menaik dan korupsi birokrat dan militer menjadi wabah.

Perayaan Milad PKI yang ke 45 di Jakarta pada awal tahun 1965
Pada kunjungan Menlu Subandrio ke Tiongkok, Perdana Menteri Zhou Enlai memberikan 100.000 pucuk senjata chung. Penawaran ini gratis tanpa syarat dan kemudian dilaporkan ke Bung Karno tetapi belum juga menetapkan waktunya sampai meletusnya G30S. Pada bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Sukarno menetapkan konstitusi di bawah dekrit presiden - sekali lagi dengan hasutan dari PKI. Ia memperkuat tangan angkatan bersenjata dengan mengangkat para jendral militer ke posisi-posisi yang penting. Sukarno menjalankan sistem "Demokrasi Terpimpin". PKI menyambut "Demokrasi Terpimpin" Sukarno dengan hangat dan anggapan bahwa dia mempunyai mandat untuk persekutuan Konsepsi yaitu antara Nasionalis, Agama dan Komunis yang dinamakan NASAKOM.
Pada era "Demokrasi Terpimpin", kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan nasionalis dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani, gagal memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor menurun, foreign reserves menurun, inflasi terus menaik dan korupsi birokrat dan militer menjadi wabah.


Angkatan kelima

Pada kunjungan Menlu Subandrio ke Tiongkok, Perdana Menteri Zhou Enlai menjanjikan 100.000 pucuk senjata jenis chung, penawaran ini gratis tanpa syarat dan kemudian dilaporkan ke Bung Karno tetapi belum juga menetapkan waktunya sampai meletusnya G30S.
Pada awal tahun 1965 Bung Karno atas saran dari PKI akibat dari tawaran perdana mentri RRC, mempunyai ide tentang Angkatan Kelima yang berdiri sendiri terlepas dari ABRI. Tetapi petinggi Angkatan Darat tidak setuju dan hal ini lebih menimbulkan nuansa curiga-mencurigai antara militer dan PKI.
Dari tahun 1963, kepemimpinan PKI makin lama makin berusaha memprovokasi bentrokan-bentrokan antara aktivis massanya dan polisi dan militer. Pemimpin-pemimpin PKI juga menginfiltrasi polisi dan tentara denga slogan "kepentingan bersama" polisi dan "rakyat". Pemimpin PKI DN Aidit mengilhami slogan "Untuk Ketentraman Umum Bantu Polisi". Di bulan Agustus 1964, Aidit menganjurkan semua anggota PKI membersihkan diri dari "sikap-sikap sektarian" kepada angkatan bersenjata, mengimbau semua pengarang dan seniman sayap-kiri untuk membuat "massa tentara" subyek karya-karya mereka.
Di akhir 1964 dan permulaan 1965 ribuan petani bergerak merampas tanah yang bukan hak mereka atas hasutan PKI. Bentrokan-bentrokan besar terjadi antara mereka dan polisi dan para pemilik tanah.
Bentrokan-bentrokan tersebut dipicu oleh propaganda PKI yang menyatakan bahwa petani berhak atas setiap tanah, tidak peduli tanah siapa pun (milik negara=milik bersama). Kemungkinan besar PKI meniru revolusi Bolsevik di Rusia, di mana di sana rakyat dan partai komunis menyita milik Tsar dan membagi-bagikannya kepada rakyat.
Pada permulaan 1965, para buruh mulai menyita perusahaan-perusahaan karet dan minyak milik Amerika Serikat. Kepemimpinan PKI menjawab ini dengan memasuki pemerintahan dengan resmi. Pada waktu yang sama, jendral-jendral militer tingkat tinggi juga menjadi anggota kabinet. Jendral-jendral tersebut masuk kabinet karena jabatannya di militer oleh Sukarno disamakan dengan setingkat mentri. Hal ini dapat dibuktikan dengan nama jabatannya (Menpangab, Menpangad, dan lain-lain).
Menteri-menteri PKI tidak hanya duduk di sebelah para petinggi militer di dalam kabinet Sukarno ini, tetapi mereka terus mendorong ilusi yang sangat berbahaya bahwa angkatan bersenjata adalah merupakan bagian dari revolusi demokratis "rakyat".

Pengangkatan Jenazah di Lubang Buaya
Aidit memberikan ceramah kepada siswa-siswa sekolah angkatan bersenjata di mana ia berbicara tentang "perasaan kebersamaan dan persatuan yang bertambah kuat setiap hari antara tentara Republik Indonesia dan unsur-unsur masyarakat Indonesia, termasuk para komunis".
Rezim Sukarno mengambil langkah terhadap para pekerja dengan melarang aksi-aksi mogok di industri. Kepemimpinan PKI tidak berkeberatan karena industri menurut mereka adalah milik pemerintahan NASAKOM.
Tidak lama PKI mengetahui dengan jelas persiapan-persiapan untuk pembentukan rezim militer, menyatakan keperluan untuk pendirian "angkatan kelima" di dalam angkatan bersenjata, yang terdiri dari pekerja dan petani yang bersenjata. Bukannya memperjuangkan mobilisasi massa yang berdiri sendiri untuk melawan ancaman militer yang sedang berkembang itu, kepemimpinan PKI malah berusaha untuk membatasi pergerakan massa yang makin mendalam ini dalam batas-batas hukum kapitalis negara. Mereka, depan jendral-jendral militer, berusaha menenangkan bahwa usul PKI akan memperkuat negara. Aidit menyatakan dalam laporan ke Komite Sentral PKI bahwa "NASAKOMisasi" angkatan bersenjata dapat dicapai dan mereka akan bekerjasama untuk menciptakan "angkatan kelima". Kepemimpinan PKI tetap berusaha menekan aspirasi revolusioner kaum buruh di Indonesia. Di bulan Mei 1965, Politbiro PKI masih mendorong ilusi bahwa aparatus militer dan negara sedang diubah untuk mengecilkan aspek anti-rakyat dalam alat-alat negara.


Peristiwa


Sumur Lubang Buaya
Pada 1 Oktober 1965 dini hari, enam jenderal senior dan beberapa orang lainnya dibunuh dalam upaya kudeta yang disalahkan kepada para pengawal istana (Cakrabirawa) yang dianggap loyal kepada PKI dan pada saat itu dipimpin oleh Letkol. Untung. Panglima Komando Strategi Angkatan Darat saat itu, Mayjen Soeharto kemudian mengadakan penumpasan terhadap gerakan tersebut.

Isu Dewan Jenderal

Pada saat-saat yang genting sekitar bulan September 1965 muncul isu adanya Dewan Jenderal yang mengungkapkan adanya beberapa petinggi Angkatan Darat yang tidak puas terhadap Soekarno dan berniat untuk menggulingkannya. Menanggapi isu ini, Soekarno disebut-sebut memerintahkan pasukan Cakrabirawa untuk menangkap dan membawa mereka untuk diadili oleh Soekarno. Namun yang tidak diduga-duga, dalam operasi penangkapan jenderal-jenderal tersebut, terjadi tindakan beberapa oknum yang termakan emosi dan membunuh Letjen Ahmad Yani, Panjaitan, dan Harjono.

Isu Dokumen Gilchrist

Dokumen Gilchrist yang diambil dari nama duta besar Inggris untuk Indonesia Andrew Gilchrist beredar hampir bersamaan waktunya dengan isu Dewan Jenderal. Dokumen ini, yang oleh beberapa pihak disebut sebagai pemalsuan oleh intelejen Ceko di bawah pengawasan Jenderal Agayant dari KGB Rusia, menyebutkan adanya "Teman Tentara Lokal Kita" yang mengesankan bahwa perwira-perwira Angkatan Darat telah dibeli oleh pihak Barat[4]. Kedutaan Amerika Serikat juga dituduh memberikan daftar nama-nama anggota PKI kepada tentara untuk "ditindaklanjuti". Dinas intelejen Amerika Serikat mendapat data-data tersebut dari berbagai sumber, salah satunya seperti yang ditulis John Hughes, wartawan The Nation yang menulis buku "Indonesian Upheaval", yang dijadikan basis skenario film "The Year of Living Dangerously", ia sering menukar data-data apa yang ia kumpulkan untuk mendapatkan fasilitas teleks untuk mengirimkan berita.

Isu Keterlibatan Soeharto

Hingga saat ini tidak ada bukti keterlibatan/peran aktif Soeharto dalam aksi penculikan tersebut. Satu-satunya bukti yang bisa dielaborasi adalah pertemuan Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Pangkostrad (pada zaman itu jabatan Panglima Komando Strategis Cadangan Angkatan Darat tidak membawahi pasukan, berbeda dengan sekarang) dengan Kolonel Abdul Latief di Rumah Sakit Angkatan Darat.
Meski demikian, Suharto merupakan pihak yang paling diuntungkan dari peristiwa ini. Banyak penelitian ilmiah yang sudah dipublikasikan di jurnal internasional mengungkap keterlibatan Suharto dan CIA. Beberapa diantaranya adalah karya Benedict R.O'G. Anderson and Ruth T. McVey (Cornell University), Ralph McGehee (The Indonesian Massacres and the CIA), Government Printing Office of the US (Department of State, INR/IL Historical Files, Indonesia, 1963-1965. Secret; Priority; Roger Channel; Special Handling), John Roosa (Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto's Coup d'État in Indonesia), Prof. Dr. W.F. Wertheim (Serpihan Sejarah Th65 yang Terlupakan).

Korban

Keenam pejabat tinggi yang dibunuh tersebut adalah:
  • Letjen TNI Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi)
  • Mayjen TNI Raden Suprapto (Deputi II Menteri/Panglima AD bidang Administrasi)
  • Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono (Deputi III Menteri/Panglima AD bidang Perencanaan dan Pembinaan)
  • Mayjen TNI Siswondo Parman (Asisten I Menteri/Panglima AD bidang Intelijen)
  • Brigjen TNI Donald Isaac Panjaitan (Asisten IV Menteri/Panglima AD bidang Logistik)
  • Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat)
Jenderal TNI Abdul Harris Nasution yang menjadi sasaran utama, selamat dari upaya pembunuhan tersebut. Sebaliknya, putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudan beliau, Lettu CZI Pierre Andreas Tendean tewas dalam usaha pembunuhan tersebut.
Selain itu beberapa orang lainnya juga turut menjadi korban:
Para korban tersebut kemudian dibuang ke suatu lokasi di Pondok Gede, Jakarta yang dikenal sebagai Lubang Buaya. Mayat mereka ditemukan pada 3 Oktober.