Kamis, 01 November 2012

Pengalaman Menyakitkan Akibat Peristiwa G-30-S PKI 1965


1348966562582873949

Monumen Pancasila Sakti-Kompas Com
Hari ini 30 September adalah “Hari Ulang Tahun” melestusnya pemberontakan Gerakan 30 September PKI yang ke 47. Pada era Pemerintahan Soeharta yang berkuasa lebih dari 32 tahun (1966-1998), tanggal 30 September ini dirayakan dan diperingati secara besar-besaran sebagai acara Kenegaraan yang dipusatkan di Istana Negara, tepatnya tanggal 1 Oktober, sebagai “Hari Kesaktian Pancasila”, antara lain dengan memutar dan menonton film “Pemberontakan G-30-S PKI”, yang tentu saja menempatkan Soeharto sebagai “pahlawan” yang menumpas Partai Komunis Indonesia (PKI).
Tapi saat ini di zaman Reformasi, suasana seperti itu tidak ada lagi, bahkan mungkin tidak pernah diketahui oleh generasi muda yang lahir setelah tahun 1965. Apalagi bagi para pelajar yang senang dan sering melakukan kekurusuhan dan tawuran. Bagi mereka peristiwa sejarah yang merenggut nyawa ribuan rakyat Indonesia yang sebagian besar tidak bersalah itu tidak penting sama sekali. Yang paling penting adalah muncul di layar TV dengan tawuran.
Sebuah stasiun TV Nasional tanggal 29 September kemarin menyiarkan sebuah program dengan judul “Peristiwa G-30-S-PKI, Apakah Suatu Coup (Merebut Keuasaan Secara Paksa) Atau Rekayasa?”. Sampai saat ini kita tidak tahu persis apa yang sesungguhnya terjadi. Namun yang jelas dan faktanya adalah, bila banyak Jenderal yang terbunuh, tapi Soeharto selamat, bahkan dapat “merebut” kekuasaan dari Presiden Soekarno melauli “Surat Sakti”, yang dia sebut “Surat Perintah Sebelas Maret-SUPERSEMAR”, yang anehnya sampai sekarang tidak dapat ditunjukkan bukti otentik (yang asli) nya.
Tapi artikel ini bukan untuk membahas masalah itu, tetapi pengalaman pribadi yang menyakitkan yang dialami penulis saat masih duduk di kelas satu SMA pada tahun 1965 itu. Saya yakin sebagin besar Kompasiner belum lahir saat G-30-S PKI itu terjadi. Maka baca dong kisah menyakitkan tapi ada berkahnya ini. Beginilah ceritanya:
Tahun 1965, Masuk SMAN Baturaja

Tahun 1965 saya masuk SMA Negeri Baturaja. Di awal tahun ajaran, proses pendidikan berjalan normal-normal saja. Saat itu hampir tidak ada sepeda motor seperti saat ini. Karena jarak dari rumah ke sekolah dan tidak ada angkutan umum, saya naik sepeda (butut) untuk pergi dan pulang sekolah. Saya sering berboncengan dengan salah seorang teman yang satu arah dengan rumah orang tua saya. Lumayam tidak perlu mengayuh sepeda.
Menjadi Anggota Drum Band Marhaen

Sebagai seorang remaja, saya mengikuti kegiatan ekstra kurikuler yang lagi trend saat itu, yaitu bermain Drum Band. Waktu itu main Drum Band merupakan suatu kegiatan yang sangat populer karena sering diperlombakan antar sekolah. Saya masuk Drum Band GSNI (Gerakan Siswa Nasional Indonesia), sebuah organisasi di bawah naungan Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan oleh mantan Presiden RI Pertama, Soekarno, yang merupakan cikal bakal PDI Perjuangan sekarang, yang dibawah pimpinan Megawati Soekarnoputri itu.
Untuk memperlancar main Drum Band, saya sering berlatih di rumah dengan menggunakan stick di atas meja, bukan drum. Suatu saat saya latihan di ruang depan rumah memukul stick di meja, sambil memanggang ikan di dapur. Gak taunya api sudah menjilat atap dapur. Untunglah api dapat dipadamkan, kalau tidak, rumah kami yang sebagian besar terbuat dari kayu itu, pasti sudah ludes dimakan api.

Tidak Naik Kelas Karena Korban Politik-G-30-S PKI
Pada saat terjadinya pemberontakan G30S/PKI, ternyata PNI dituduh ikut terlibat khususnya PNI ASU. Ternyata Drum Band GSNI tempat kami bergabung dituduh sebagai PNI ASU. Akibatnya semua siswa yang aktif dalam Drum Band GSNI tersebut dinyatakan tidak naik kelas, kecuali anak-anak pejabat, mungkin gurunya takut kepada orang-tua mereka. Saya tidak naik kelas karena ada tiga pelajaran yang diberi nilai 3 (tiga), yaitu Bahasa Indonesia, Civic (sekarang Pancasila) dan Agama.
Saya dan teman-teman tidak naik kelas bukan karena bodoh atau malas belajar, tetapi karena korban politik. Padahal kami yang masih remaja dan polos itu tdak tahu apa-apa soal politik. Yang ada hanya enjoy saja, karena Drum Band GSNI selalu jadi juara hampir di setiap perlombaan. Pokoknya, wow keren, kata anak sekarang.
Singkat cerita, para orang-tua murid yang anaknya tidak naik kelas melakukan protes ke sekolah. Terjadi keributan. Akhirnya diputuskan, bagi yang tidak naik kelas karena korban politik itu, bisa naik kelas asalkan pindah sekolah ke kota lain, nilai rapotnya dirubah dan rapor-nya diganti dengan yang baru. Nilai ke-tiga mata pelajaranku yang semula 3 itu diubah menjadi 5, sehingga bisa naik kelas. Saya naik ke kelas dua Pasti Alam (PASPAL).

1 komentar:

  1. mohon maaf sblumnya saya mw tanya itu yg dtulis kisahny siapa y.pa?ayah saya mw mngetahui n kbenarn jg alumni sma negeri baturaja thn 1965,,mohon konfirmasinya y,pa!

    BalasHapus